Senin, 26 Oktober 2009

Manusia Yang Manusiawi (jilid 2)

Kembali pada topik tentang “manusia”, bila ditinjau dari bahasa Pali, manusia berasal dari kata “Manussa” terdiri dari kata “mano” berarti pikiran, kata “assa” berarti agung, luhur, mulia. Dengan demikian manusia secara harfiah berarti makhluk yang memiliki pikiran yang luhur dan agung. Sebagai makhluk yang memiliki pikiran yang luhur dan agung, kita perlu melatih dan terus melatih pikiran kita agar sesuai dengan hakikat kemanusiaan kita. Apabila kita tidak melatihnya terus-menerus, maka akan muncul potensi yang negatip.

Di dalam diri manusia, terdapat dua potensi yang bertolak belakang, yakni : potensi positip (Tiga akar kebajikan/Kusala-mula 3 ; Dighanikaya III:275) dan potensi yang negatip (Tiga akar kejahatan/Akusala-mula 3 ; Dighanikaya III:275, Itivuttaka 45). Tiga akar kebajikan yang merupakan potensi positip yang timbul dari dalam diri manusia (faktor internal) adalah Alobha (Tidak serakah atau Karuna : belas kasih atau kasih sayang), Adosa (Tidak membenci atau Metta : cinta kasih universal dan Mudita : simpati atau empati), dan Amoha (Tidak bodoh atau Panna : kebijaksanaan). Ketiga potensi ini seharusnya ditumbuh-kembangkan serta dilestarikan sehingga akan menimbulkan dampak perbuatan konstruktif (bersifat membangun/berguna) agar menjadi kebiasaan baik bagi kita sebagai potensi untuk mencapai Penerangan Sempurna. Potensi ini sangat diperlukan untuk membangkitkan citra kita sebagai manusia yang memiliki pikiran luhur dan agung.

Potensi negatif atau tiga akar kejahatan merupakan potensi yang timbul dari dalam diri manusia (faktor internal) adalah Lobha (keserakahan), Dosa (kebencian, dendam), Moha (kebodohan batin/mental) yang akan menimbulkan dampak perbuatan destruktif (bersifat merusak/menghancurkan). Lobha kadang-kadang disebut loba, keinginan rendah/tanha, napsu indera/kama, hawa napsu/raga, yang secara psikologi berarti terikatnya pikiran oleh objek-objek. Dosa kadang dikenal dengan nama dendam atau tidak senang/patigha dan kemauan jahat/byapada, yang secara psikologis berarti pukulan yang berat dari pikiran terhadap objek, yaitu pertentangan dan konflik. Moha juga disebut tidak tahu/avijja, tidak berpengetahuan/annana, atau kurang pengertian/adassana.

Potensi negatip harus dipendam agar tidak muncul, dihambat, dan kemudian dihancurkan agar musnah, apabila tidak maka akan menghancurkan dan menjatuhkan kehidupan seseorang sehingga membawa penderitaan dalam kehidupan sekarang ini dan kehidupan mendatang dengan terlahir kembali di alam-alam rendah/menyedihkan atau alam kejatuhan (alam asura, alam peta, alam binatang, dan alam neraka) atau di alam manusia dengan kondisi yang tidak menguntungkan dan lebih banyak penderitaannya. Apabila potensi ini dipendam, dihambat kemunculannya, dan kemudian dihancurkan, maka dalam diri seseorang akan muncul 2 Dhamma Pelindung Dunia (Lokapala Dhamma), yakni : Hiri (rasa malu terhadap diri sendiri dalam melakukan tindakan negatip atau destruktif). Orang yang memiliki kekuatan ini akan segan melakukan perbuatan jahat atau salah, sedangkan orang yang tidak memiliki Hiri bila ia berniat untuk melakukan suatu perbuatan jahat ia tidak akan ragu-ragu atau tidak lagi berpikir hingga dua kali untuk melaksanakannya. Kekuatan ini berkualitas tertinggi karena muncul dari internal diri yang tidak terpaksa, tidak dibuat-buat, dan munculnya dari ketulusan serta kesadaran sendiri karena mengerti dengan benar akan akibat buruk dari tindakan negatip. Ottappa (rasa takut akan akibat perbuatan jahat). Ketakutan atau keengganan yang muncul karena faktor eksternal diri disebabkan adanya ancaman hukuman yang ada, misalnya bila melanggar akan terjerat hukum negara atau pelanggaran Pancasilasikkha (Lima Latihan Kemoralan). Kendati hal ini kurang berkualitas bila dibandingkan dengan Hiri, akan tetapi setidaknya seseorang masih memiliki rasa takut. Orang yang memiliki kekuatan ini bagaikan orang yang takut akan menyentuh api, karena akibat menyentuh api akan menyebabkan rasa sakit. Jadi bila seseorang mau berbuat kejahatan, seseorang itu masih berpikir-pikir dahulu akan akibat yang diterima, tidak langsung melakukan tindakan kejahatan. Artinya seseorang yang memiliki rasa takut masih lebih baik ketimbang tidak ada rasa takut di dalam dirinya. Rasa takut bisa menjadi alat rem dalam melakukan kejahatan kendatipun bukan rem pakem/ yang ampuh. Menurut sabda Buddha, apabila setiap orang di dalam dirinya memiliki dua potensi tersebut di atas, maka dunia akan terlindung, aman, tentram, damai, bebas dari pertikaian, pertengkaran, permusuhan, maupun teroris karena memiliki masyarakat berperadaban tinggi. Dengan demikian dunia akan menjadi damai dan sejahtera, karena berpenghuni manusia-manusia yang bermoral etik yang tinggi, berbudaya, dan berbudi pekerti yang luhur.

Potensi positip dan negatip ini terdapat dan muncul dari dalam diri manusia itu sendiri atau disebut juga sebagai faktor internal bukan faktor eksternal yang muncul dari luar diri manusia atau dipengaruhi oleh kekuatan luar. Agar potensi positip tetap bersahaja, maka kita harus selalu penuh perhatian (sati) dan waspada (sampajana) di dalam menumbuh-kembangkan potensi tersebut agar tidak muncul potensi negatip atau kekuatan yang tidak baik dan tidak berguna. Potensi positip apabila terlestari, maka akan berdampak baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, demikian sebaliknya apabila potensi negatip berkembang, maka berdampak buruk yang muncul bukan hanya bagi diri sendiri namun akan berdampak pula bagi orang lain.

Dalam Buddhadhamma diyakini bahwa kedua potensi itu muncul, berkembang atau tidak, sesungguhnya tergantung pada DIRI SENDIRI, tidak ada kekuatan luar yang sangat hebat untuk menguasai diri seseorang. Seseorang adalah majikan dan penguasa bagi dirinya sendiri. Kita tidak mengakui dan tidak memberi hak paten kepada makhluk lain apakah dikenal sebagai Mahadewa, Adiinsani atau Adikuasa diluar diri seseorang yang menguasai dirinya. Jelasnya, tidak ada kekuatan lain yang mampu mengontrol dan menguasai diri kita selaian DIRI SENDIRI dengan potensi yang ada. Remote Control-nya ada ditangan kita masing-masing. Potensi negatip dan positip yang memunculkannya adalah sesuai dengan kekuatan DIRI SENDIRI. Oleh karenanya berlatihlah untuk menguasai dan memanfaatkan kekuatan diri sendiri agar potensi-potensi positip dalam diri kita tumbuh berkembang menciptakan kedamaian dan kebahagiaan bagi dunia. Dengan tumbuh berkembangnya potensi-potensi positip yang menjadikan manusia sebagai citranya, maka potensi-potensi negatip dengan sendirinya akan terpendam dan tidak akan muncul.

Untuk memenuhi citra sebagai manusia yang berpikiran luhur, kadang kita perlu belajar dari makhluk lain seperti hewan. Alasannya, bila kita memperhatikan ada hewan yang setelah makan, ia beristirahat. Ini menunjukkan bahwa hewan tersebut merasa puas dengan apa yang telah dinikmatinya. Berbeda dengan kita sebagai manusia yang mana setelah kenyang maka manusia bekerja lagi dan bekerja lagi tanpa henti untuk mencukupi segala kebutuhannya yang tak terpuaskan. Yang kaya terus berusaha untuk memperkaya dirinya, sebenarnya mereka adalah orang miskin yang sebenarnya dikarenakan ketidakpuasan yang terus dilanda dalam dirinya. Sementara si miskin yang merasa puas dengan apa yang dimilikinya, sesungguhnya adalah orang kaya yang sebenarnya. Dari sisi lain, pada kenyataannya hewan lebih bahkan sangat menghargai kehidupan, karena kita tidak pernah mendengar bahwa ada hewan yang bunuh diri. Sementara di media elektronik dan media massa tidak jarang kita melihat dan membaca berita yang menyatakan bahwa manusia melakukan bunuh diri dengan berbagai macam alasan, apakah karena seorang wanita, harta benda, tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup, dan bahkan tidak sedikit yang karena dililit oleh hutang. Kelihatan sekali mereka tidak menggunakan kesempatan dan peluang untuk menghargai hidup ini. Sedetikpun bagi kita hidup ini sangat berarti dan bermanfaat apabila kita gunakan untuk kebaikan dan kebahagiaan bagi banyak pihak.

Sesungguhnya, manusia di dalam alam yang penuh dengan sukha dan dukkha ini tidak dapat hidup sendiri, kita harus hidup berkelompok dan berdampingan dengan orang lain. Tanpa itu, kehidupan kita tidaklah berarti dan tak mungkin dapat hidup sendiri. Satu waktu pasti memerlukan orang lain. Sebagai contoh : untuk memangkas rambut kita, pakaian yang kita pakai, makanan yang kita makan, dan lain sebagainya adalah merupakan hasil kerja dan karya orang lain. Maka mengertilah hakikat hidup ini dengan benar. Bila kita memutuskan hidup kita sebelum waktunya alias bunuh diri, kemungkinan banyak orang yang merasa kehilangan, dan secara Buddhadhamma perbuatan demikian tidaklah baik dan tidaklah berguna. Mengakhiri hidup bukanlah solusi atau penyelesaian yang tepat dan baik, karena pasti akan bertumimbal lahir kembali. Belum tentu kelahiran berikut lebih baik dari sekarang. Alangkah lebih tepat apabila kita memanfaatkan kehidupan sekarang dengan sebaik-baiknya, menciptakan buah-buah kebajikan dan bermanfaat bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Kondisi kita pada kehidupan yang akan datang, tentu disebabkan oleh kamma kita pada kehidupan sekarang ini. Sementara kondisi sekarang ditentukan oleh kamma sekarang dengan kombinasi kamma yang lampau. Oleh karenanya, Buddha mengingatkan kita, “Jangan diingat apa yang telah lampau, jangan dipikirkan yang akan datang, tetapi HIDUPLAH SAAT INI.” Apa yang dapat diperbuat, lakukanlah ! Yang lampau tidak akan dapat diubah lagi, yang akan datang belumlah pasti. Apa yang baik maka dilestarikan, dikembangkan, dan dilanjutkan. Apa yang tidak baik, lambat laun dipendam, ditinggalkan, dan kemudian dihancurkan. Sebagai seorang Buddhis, janganlah kecewa dan merana dengan keberadaan kita saat ini, semua yang kita alami ada penyebabnya, bukan terjadi begitu saja, kebetulan, atau terjadi dengan tiba-tiba atau sekonyong-konyong. Bisa terjadi, tidak lain karena tabungan perbuatan di masa yang telah lewat, yang tak mungkin di-review kembali. Tapi dapat diubah ke arah yang lebih baik dengan cara : “Sabbapapassa akara Kusalassa upasampada Sacittapariyodapana Eta Buddhana sasanam” artinya tak melakukan segala bentuk kejahatan, menyempurnakan kebajikan, dan menyucikan pikiran; inilah ajaran para Buddha.”

Oleh karena itu, kita-lah yang bertanggungjawab dengan apa yang telah kita lakukan bukan dengan cara “melarikan diri dari kenyataan” atau “menyesal tiada henti” dengan apa yang telah dilakukan tanpa ada “Action” untuk mengubahnya. Ingatlah ! Perubahan, ketidaktetapan, atau ketidak-kekalan merupakan hukum yang pasti. Karena ada kepastian tentang hukum ketidak-kekalan, maka selamatlah mereka yang hidup dalam kekurangan, cacat mental atau fisik, belum mendapatkan kesempatan dan lain-lain, sehingga masih ada kesempatan untuk meraihnya di masa mendatang atau dikehidupan mendatang.

Dalam Samyutta Nikaya V : 457 Buddha Gotama bersabda kepada Bhikkhu Ananda Thera :

“Bayangkan bila seluruh permukaan bumi ini tertutup oleh air, dan ada seseorang yang melemparkan sebuah gelang ke permukaan air. Oleh tiupan angin, gelang tersebut terombang-ambing ke utara, selatan, timur, dan barat. Sekarang anggaplah bahwa sekali dalam seratus tahun seekor kura-kura yang buta akan muncul ke permukaan air. Apakah yang anda pikir akan terjadi ? Akankah kura-kura itu memasukkan kepalanya ke dalam gelang ketika muncul dipermukaan air ?”

“Tidak mungkin, Bhante.” “Nah, keadaan tersebut sama tidak mungkinnya dengan suatu makhluk untuk dilahirkan sebagai manusia; sama tidak mungkinnya dengan seorang Tathagata, Buddha yang Mahamulia, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, untuk muncul di dunia; dan sama tidak mungkinnya dengan Dhamma dan ajaran-ajaran Tathagata untuk dibabarkan. Namun, sekarang anda telah dilahirkan sebagai manusia, seorang Tathagata telah muncul dan Dhamma telah dibabarkan. Oleh karena itu, berusahalah sekuat tenaga untuk menyadari Empat Kebenaran Mulia.”

Menyimak sepenggal ayat suci di atas, kita yang terlahir sebagai manusia harus berbahagia karena menurut ayat Tipitaka tersebut ternyata tidak mudah untuk terlahir sebagai manusia. Bagi kita yang telah terlahir sebagai manusia, hal tersebut tidaklah sulit, bahkan kita juga mengenal Tathagata, dan mengenal Dhamma serta yang jelas di kehidupan yang lampau kita telah mencetak banyak kamma yang berpotensi untuk terlahir di alam manusia. Yang paling penting adalah bagaimana kita bisa mempertahankan keberadaan kita sebagai manusia atau meningkatkan keberadaan kita ke taraf yang lebih tinggi lagi dari manusia di kehidupan mendatang. Ada empat Dhamma untuk umat awam yang disebut Gharavasa-Dhamma, yaitu : Sacca atau kejujuran baik dalam ucapan maupun perbuatan, Dama atau penyesuaian diri dalam melatih diri untuk mengendalikan pikiran ke arah yang baik, menguatkan perhatian akan kebijaksanaan sehingga memiliki kebijaksanaan dalam diri, Khanti atau kesabaran, sabar dalam melakukan pekerjaan apa saja, rajin dan tidak mundur, semua pekerjaan yang dikerjakan dapat selesai tepat waktu, Caga atau kemurahan hati/pembebasan, berusaha membebasakan diri dari kekotoran batin, lapang dada untuk mendengar dan menerima keluhan penderitaan dari orang lain dan berusaha untuk membantu meringankan penderitaan orang lain.

Jadikanlah hidup kita kendatipun sedetik saja, namun memberi arti lebih dari sedetik bagi diri sendiri maupun bagi banyak orang, bahkan telah meninggal hingga ribuan tahun pun namanya akan terkenang. Buddha Gotama telah lama Mahaparinibbana, namun ajaran-Nya masih berlangsung hingga sekarang ini.

Akhirnya,semoga dengan pemahaman kita terhadap Dhamma akan wujudkan citra kita sebagai manusia yang manusiawi, artinya sebagai manusia yang memiliki pikiran yang luhur kita wujudkan hal-hal yang bermakna dalam kehidupan ini. Sesungguhnya melalui sikap dan tingkah laku kita sesuai dengan Kebenaran (Dhamma), maka Buddhadhamma akan menjadi maju berkembang dan diminati oleh banyak orang. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, Sadhu, Sadhu, Sadhu

Manusia Yang Manusiawi (jilid 1)

Berbicara soal “Manusia”, sesungguhnya dalam Buddhadhamma hal itu termasuk bagian dari 31 alam kehidupan yang ada dalam satu tata surya. Manusia bukan termasuk makhluk yang mengalami dukkha (ketidakpuasan) sepanjang waktu dan bukan pula makhluk yang mengalami sukha (kebahagiaan) sepanjang waktu. Kehidupan manusia di alam ini mengalami sukha dan dukkha silih berganti dan terus-menerus dialami oleh penghuni alam tersebut sebelum mampu mencapai Penerangan Sempurna.

Sebagai umat Buddha yang mengalami dukkha tidak diharapkan untuk bersedih, karena dukkha sifatnya sementara dan merupakan fakta hidup yang tidak bisa ditolak ataupun dielak. Dalam hal ini yang paling penting adalah kita bisa menyadari kondisi tersebut sebagai suatu fakta kehidupan dan tidak pula berharap penuh dengan kegembiraan yang berlebihan ketika mengalami sukha, karena sukha bersifat sementara dan pertanda akhirnya dukkha. Justru dengan kebahagiaan yang sementara dialami, perlu berbagi kepada orang lain di sekitar kita, sehingga yang lain turut merasakan kegembiraan kita. Begitu pula dengan makhluk-makhluk yang tak tertampak oleh kasatmata, berbagi kegembiraan kepada mereka sebagai cara pelimpahan jasa kebajikan. Cara ini khas Buddhistis yang merupakan tradisi yang berawal dari zaman Buddha Gotama.

Jadi, sukha dan dukkha adalah bagian dari hidup kita sebagai fakta kehidupan yang pasti dialami oleh siapapun tidak pandang usia, jenis kelamin, taraf kehidupan, tataran hidup, bahkan bukan manusiapun akan mengalami kondisi tersebut. Dan yang terpenting kita harus menyadari bahwa keadaan/kondisi di atas bersifat sementara saja, tidak kekal dan akan mengalami perubahan serta tidak akan bertahan lama. Ketika mengalami dukkha, cobalah kita menengok mereka yang mengalami dukkha yang lebih berat, sehingga mental kita akan lebih tahan menghadapinya. Sedangkan mereka yang sedang mengalami sukha jangan lupa diri dan selalu mengingat bahwa hal tersebut sifatnya juga tidak lama dan sementara saja. Realita dan objektiflah !

Hiduplah dengan “Realistis : bersifat nyata; wajar”, jangan pesimis, dan jangan pula terlalu optimis, nilailah segala sesuatu dengan “kaca mata” atau penilaian yang objektif. Dengan demikian kita akan hidup dengan kesadaran dan penuh kewaspadaan serta berhati-hati. Bila kita berpikiran pesimis, maka akan membawa hidup kita “drop”, tidak memiliki harapan hidup dan melihat segala sesuatu dengan “kaca mata hitam”, tidak ada harapan dan semangat hidup, penuh dengan kekecewaan, dan selalu memandang hidup ini berat dan sulit. Akhirnya orang seperti ini lambat laun akan mengakhiri hidupnya dan ini merupakan “Vibhava-tanha : keinginan/kehausan akan kemusnahan atau memusnahkan diri”. Bila kita menggunakan pikiran optimis, memiliki semangat yang “Over dosis” juga akan menimbulkan bahaya atau berdampak negatip, karena semangatnya luar biasa seolah-olah tidak ada halangan dan hambatan hidup baginya, ia merasa bahwa segala sesuatu mudah, maka tidak ada persiapan untuk melihat kenyataan bila mengalami kegagalan. Ketika ia mengalami kegagalan, maka semangatnya akan “drop” dan berubah pikiran menjadi pesimis. Akhirnya juga akan mengakhiri hidupnya karena merasa tidak dapat bertahan akan kenyataan hidup ini.

Berbeda dengan mereka yang memiliki pikiran objektif, orang ini akan selalu melihat apa adanya dengan wajar sesuai dengan proporsinya, dukkha ya dukkha tidak lebih dari itu, akibatnya tidak sampai tidak bisa tidur, tidak bisa makan, selalu stress yang semakin membawa penderitaan. Dan mengalami sukha ya sukha tidak berlebihan, karena orang ini mengerti bahwa itu semua bersifat sementara, akan mengalami perubahan, dan tidak ada yang harus dibanggakan ataupun disombongkan.

Karakteristik Buddhis

Pendahuluan
Hingga saat ini, ajaran Buddha yang dikenal dengan Buddhasasana, Buddhadhamma, Dhamma, atau Dhamma Vinaya telah berusia lebih dari 2500 tahun. Jikalau dihitung mulai dari pembeberan Dhamma pertama dengan judul “Dhammacakkappavattana Sutta : Kotbah tentang pemutaran roda Dhamma” kepada lima pertapa (sekitar 588 S.M. di Taman Rusa Isipatana) kendati pertama kalinya di hari ke-50 setelah Pertapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna, Buddha memberikan nasihat Dhamma kepada dua orang pedagang (Bhallika dan Tapussa) yang sedang lewat di dekat Buddha sedang duduk, maka tahun 2006 ini Dhamma telah berusia 2595 tahun. Dengan usia yang cukup tua tersebut, tentunya Buddhadhamma memiliki ciri tersendiri dan memiliki khasnya sendiri pula. Dan tentunya ada perbedaan-perbedaan yang mendasar dengan ajaran-ajaran yang lain serta tidak dapat ditarik suatu garis persamaan. “Kita harus berani tampil BEDA”. Untuk itu, seyogyanya kita umat Buddha dapat mengetahui dan memahami Dhamma; ajaran Buddha agar kita dapat melihat keistimewaan atau khasnya Buddhis dan yang menarik minat banyak pihak untuk menganut Buddhadhamma.

Buddhadhamma Ajaran Buddha
Sejak tahun 588 S.M. Buddha membeberkan Dhamma hingga detik terakhir Beliau wafat (mencapai Parinibbana) pada tahun 543 S.M., maka Buddha membeberkan Dhamma selama 45 tahun. Angka ini adalah merupakan angka yang paling besar dan paling lama mengajar Dhamma dari guru-guru spritual lainnya di dunia ini. Tak mengherankan bila kitab suci Tipitaka merupakan kitab yang paling tebal dan isinya adalah keseluruhan kotbah yang disampaikan Buddha diberbagai tempat dan kepada berbagai suku. Dan kepiawaian Beliau dalam membeberkan Dhamma adalah menggunakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat umum kala itu, yakni bahasa Pali. Sedangkan bahasa Sanskerta adalah bahasa bangsawan dan paling sedikit digunakan oleh Buddha dalam membeberkan Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pula pada pengakhirannya. Penggunaan bahasa rakyat jelata adalah menunjukkan bahwa Buddha merupakan seorang yang low profile, rendah hati, tiada sombong, dan tidak memandang sebelah mata masyarakat grass-roots.

Dhamma ajaran Buddha bagaikan sebuah rakit yang berfungsi sebagai alat penyeberang. Kalau rakit dapat menyeberangkan orang ke pantai seberang, sedangkan Dhamma adalah alat untuk mencapai Nibbana, pencapaian pembebasan dari dukkha. Mereka yang melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari akan memberikan manfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang-orang yang berada disekitarnya.

Karakteristik Buddhis
Buddhadhamma merupakan ajaran yang dibeberkan dan dikumandangkan oleh Buddha Gotama yang berasal dari anak Raja Sudodhana penguasa Kapilavatthu. Karena ketidak-inginan Beliau akan kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh orang tuanya dan Beliau memiliki kecenderungan untuk hidup bebas dan penuh ketenangan, maka Beliau meninggalkan istana kerajaan yang menawarkan kemelekatan duniawi, sementara Beliau memilih untuk bebas dari keterikatan duniawi. Pada akhirnya Beliau keluar dari istana untuk mencari obat agar dapat membebaskan diri dari keterikatan duniawi yang pada akhirnya membawa dukkha. Setelah melakukan pengasingan selama enam tahun di hutan Uruvella, Beliau memperoleh pencerahan. Pencerahan inilah yang kemudian Beliau kumandangkan kepada dunia melalui dua orang pedagang yang bernama Bhallika dan Tapussa, selanjutnya kepada Petapa Kondanna, Petapa Vappa, Petapa Bhaddiya, Petapa Mahanama, dan Petapa Assaji.

Berikut ini akan dibahas tentang ciri-ciri atau sifat khas ajaran Buddha, yakni :

  1. Dukkha, ketidakpuasan, hal ini adalah menjadi ajaran utama Buddha Gotama di dalam pembeberan Dhamma yang pertama. Buddha tidak menyembunyikan fakta hidup bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpuasan. Dengan fakta ini, maka Buddha menjelaskan dengan terperinci tentang ketidakpuasan, dasar-dasar ketidakpuasan, sebab-sebab akhir atau lenyapnya ketidakpuasan dan kemudian cara-cara untuk melenyapkan ketidakpuasan. Jadi dalam hal ini banyak orang yang tidak memahami atau mempelajari keseluruhan dari ajaran tentang dukkha, sehingga banyak yang salah mengerti dan salah memandang tentang ajaran Buddha. Karena kesalahpandangan dan kesalahpahaman tersebut menyebabkan banyak orang berpandangan bahwa Buddha tidak pernah mengajarkan tentang kebahagiaan, sehingga ajaran Buddha digolongkan menjadi ajaran pesimis. Moni Bagghee, “Our Buddha” : Analisa Rasional – Buddhadhamma merupakan satu-satunya agama besar di dunia ini yang secara sadar dan terus terang berlandaskan kepada suatu analisa rasional yang sistematis terhadap problem-problem kehidupan serta jalan pemecahannya. Dr.K.N.Jayatilleke,”Buddhism and Peace : Fakta Realitas yang Terakhir”. Di sini adalah perlu untuk diberikan perhatian kepada sifat unik lainnya dari Buddhadhamma, yakni bahwa ia adalah satu-satunya ajaran dari seorang guru, yang merupakan hasil dari filosofi yang konsisten, yang dengan tegas memberitahukan kita mengenai fakta kehidupan dan realitas yang terakhir. Buddhadhamma adalah suatu pedoman hidup yang dihasilkan dari penerimaan terhadap kehidupan, yang dikatakan sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Filsafatnya bukanlah tanpa memperhitungkan sifat alamiah dari pengetahuan.
  2. Buddha, seorang yang objektif, Buddha adalah seorang yang Rasionalis dan Objektif, pernyataan ini dapat dilihat dari apa yang Beliau ajarakan kepada kita. Beliau dengan bijaksana menunjukkan kepada kita tentang perbuatan baik lengkap dengan buah-buah yang akan dinikmati oleh si pelaku, demikian pula tentang perbuatan buruk serta akibat yang akan dialami oleh mereka yang melakukan kejahatan. Dengan demikian, Buddha menyerahkan remote control kepada kita masing-masing, mana yang akan kita pergunakan “apakah yang baik atau yang buruk ?”. Dr. S. Radhakrsishnan, “Gautama The Buddha : Kita Terkesan oleh Semangat Rasionalitas-Nya”. Tatkala kita membaca kotbah-kotbah-Nya, kita terkesan oleh semangat rasionalitas-Nya. Jalan etika Buddha yang pertama ialah pandangan/pengertian benar, suatu pandangan yang rasional. Beliau berusaha menyingkirkan segala perangkap yang merintangi pandangan /penglihatan manusia terhadap dirinya sendiri serta nasibnya.
  3. Ehipassiko, datang, lihat, dan buktikan, Ven.Dr.W.Rahula, “What the Buddhis Taught” Buddhadhamma adalah selalu merupakan pertanyaan tentang pengetahuan dan pembuktian; bukan tentang kepercayaan. Ajaran Buddha memenuhi syarat sebagai Ehipassiko, mengundang Anda untuk datang, dan membuktikan, bukannya datang dan percaya. Berkaitan dengan ini berarti prinsip Buddhis bukan “Datang dan Percayalah” akan tetapi “Datang dan Buktikanlah atau mari buktikan”. Dari pernyataan di atas jelaslah bahwa ajaran Buddha berkecenderungan beranjak dari pengetahuan atau ilmiah dan bukan berdasarkan kepercayaan yang membuta. Sesungguhnya keyakinan seseorang menjadi kuat apabila sesuatu yang menjadi dasar pengetahuan mereka karena telah membuktikan kebenaran tersebut secara akurat ketimbang hanya percaya pada apa yang tertulis kendatipun itu berasal dari kitab suci yang diyakini.
  4. Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri, tidak ada tempat bagi siapa pun untuk pergi berlindung selain berlindung pada dirinya sendiri. Para Buddha hanyalah sebagai penunjuk Jalan, kita-lah yang harus menapaki Jalan tersebut. Buddhadhamma mengandalkan diri sendiri daripada diluar diri sendiri. Dalam tradisi Buddhis tidak mengenal sistem permohonan atau permintaan untuk menjadi bahagia, sehat, kuat, maupun kaya ataupun enteng jodoh. Menurut Dhamma, kebahagiaan, kesehatan, kekuatan, kaya maupun enteng jodoh tidak dapat diperoleh dengan cara meminta dan memohon, namun dapat diperoleh dengan membuat sebab-sebabnya agar menimbulkan akibat. Dengan penjelasan ini jelaslah bahwa umat Buddha bukan penyembah berhala, seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak. Umat Buddha melakukan pujabhatti adalah sebagai wujud penghormatan kepada Buddha sebagai guru yang telah menjadi teladan dan menunjukkan jalan kebenaran bagi kita. Lebih tepat dapat dikatakan bahwa Buddharupang yang berada di atas altar adalah merupakan simbol dari visi ajaran Buddha, yakni mencapai Nibbana. Cara penghormatan yang dilakukan adalah merupakan tradisi masyarakat setempat atau merupakan budaya India.
  5. Diri sendiri adalah sumber kebajikan dan kejahatan, Buddha bersabda yang terdapat dalam Dhammapada bahwa yang menjadi sumber kebajikan dan kejahatan adalah perbuatan seseorang. Seseorang dapat melakukan perbuatan yang berawal dari lobha/keserakahan, dosa/kebencian, dan moha/kebodohan (Ti-akusala mula : tiga akar kejahatan) serta alobha/ketidakserakahan, adosa/ketidakbencian, dan amoha/ketidakbodohan (Ti-kusala mula : tiga akar kebajikan). Dan perbuatan pula yang menjadikan seseorang menjadi suci ataupun tidak suci. Bukan Buddha ataupun Tuhan yang menjadi sumber kebajikan dan bukan pula setan atau iblis yang menjadi sumber kejahatan. Dengan demikian tiada seorangpun yang bisa dipersalahkan karena kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Tidak bijaksana pula bila kita mempersalahkan setan dan iblis yang telah menggoda manusia untuk melakukan kejahatan. Bila memang setan dan iblis kerjanya adalah menggoda manusia, maka timbul pertanyaan mengapa manusia bisa tergoda ? Dalam hal ini kesadaran seseorang sangat-sangat dibutuhkan. Bila seseorang telah memiliki kesadaran, maka manusia dapat memilah-milah antara perbuatan baik dan perbuatan jahat. Dengan mengetahui bahwa hal tersebut adalah baik maka seharusnya terus dilakukanlah, akan tetapi apabila hal tersebut tidak baik atau jahat maka hindarilah, jangan dilakukan.
  6. Pemberi dana berterima kasih kepada penerima, pada umumnya si penerima berterima kasih kepada pemberi. Berbeda halnya dalam Buddhisme, si pemberilah yang mengucapkan terima kasih, alasannya karena penerima dana telah memberi kesempatan kepada pemberi dana untuk membuat kamma baik. Kendati demikian bukan berarti bahwa pemberi dana tidak perlu mengucapkan terima kasih. Mengucapkan terima kasih adalah merupakan perbuatan balas jasa. Hal ini juga merupakan hal yang baik. Namun bukan karena seseorang telah memberi lantas berkeinginan untuk menjadi penguasa atau bertindak angkuh dan sombong. Jadi karena orang yang menerima telah memberi peluang kepada pemberi melakukan jasa kebajikan, sepantasnya-lah si pemberi mengucapkan terima kasih.
  7. Menggunakan Alat sebagai tanda penghormatan atau terima kasih, selesai mencapai Pencerahan, Buddha Gotama selama satu minggu melihat pohon Bodhi sebagai tanda terima kasih Beliau kepada pohon Bodhi (Latin : Ficus Religiosa) yang telah memberikan pernaungan dalam merealisasikan Pencerahan. Demikian pula halnya umat Buddha belajar dari Guru Agung Buddha Gotama yang telah berjasa dalam pembabaran kebenaran yang membawa kebahagiaan, kedamaian, dan Pencerahan. Umat Buddha tidak menyembah patung untuk meminta dan memohon apapun, akan tetapi umat Buddha menyatakan sujud dan bhatti atas tauladan yang diberikan Buddha Gotama serta menjadi motivasi dalam meraih kesuksesan hidup dan Pencerahan untuk jangka panjang.

Demikianlah sekelumit pembahasan tentang karakteristik Buddhis, semoga membawa manfaat bagi kita semua dan menjadi dasar kita berpikir. Setelah memiliki pemikiran Buddhistis, kita juga seharusnya tidak berhenti hanya pada pemikiran saja, namun sebaiknya pemikiran tersebut menjadi dasar pula untuk dipraktikkan di dalam keseharian. Perbuatan inilah yang sesungguhnya diharapkan sebagai umat Buddha yang mengerti Dhamma.

To Give and To Receive

Pada umumnya orang selalu berpendapat “Take and Give” artinya mengambil (atau lebih sopan dengan menggunakan istilah “menerima” dan kemudian baru memberi. Menurut ajaran Buddha hal ini cenderung bersifat ego dan serakah, maunya menerima, menerima, baru kemudian berkenan untuk memberi, sementara ajaran Buddha mengajarkan umatnya untuk setiap saat mengembangkan pikiran welas asih dan mempraktikkan kebenaran di dalam hidup ini. Ajaran Buddha adalah ajaran pragmatis bukan dogmatis artinya ajaran yang mengajarkan pentingnya praktik daripada mencekoki umatnya dengan teori-teori kebenaran. Buddha menekankan bahwa kualitas mempraktikkan Dhamma/ kebenaran lebih sempurna, lebih berkualitas daripada melakukan pujabhatti. Bukan berarti Buddha merendahkan nilai dari pelaksanaan pujabhatti.

Orang yang suka menerima saja tanpa mau memberi sebenarnya adalah orang yang tidak bijaksana, dikatakan demikian karena ia (yang suka menerima saja) sedang menggunakan buah kamma baik di masa lampau. Sesungguhnya tanpa memberi akan terus mengurangi bahkan menghabiskan sisa kamma baiknya yang sudah ada. Dan sebaliknya mereka yang suka memberi akan terus melakukan deposit kamma baik. Menurut ajaran Kamma seyogianya kita harus terus-menerus menciptakan kamma baik sebelum mencapai Penerangan Sempurna. Karena dengan menciptakan kamma baik (melalui pikiran, ucapan, dan tindakan), maka akan membuahkan kebahagiaan baik terlahir di alam manusia maupun di alam surga. Sementara dengan melakukan kamma buruk (melalui pikiran, ucapan, dan tindakan) maka akan berakibat terlahir di alam yang menyedihkan (alam setan, alam asura, alam binatang, dan alam neraka) atau bila terlahir kembali di alam manusia, maka hidup penuh kekurangan dan penderitaan.

Bila ditinjau dari sudut pandang kamma, maka umat Buddha bukan berpikir “Take and Give”, akan tetapi “Give and Receive” artinya memberi dan menerima. Dalam pandangan Buddhis memberi adalah perbuatan yang berharga, memberi bukan berarti kita kehilangan sesuatu (kendati secara nyata memang apa yang kita miliki diberikan kepada orang lain), akan tetapi kita telah berbuat untuk menghasilkan sesuatu yang baik untuk masa depan, untuk masa yang akan datang. Seperti orang yang sedang menanam benih, maka di masa depan akan menuai hasil. Contoh lain adalah bila kita melempar benda keras yang kecil ke dalam baskom yang terisi oleh air, maka air tersebut akan menimbulkan gelombang dari benda keras yang menyentuh air tadi. Kemudian gelombang tersebut dari titik awal akan menyebar ke tepian, dan selanjutnya gelombang tersebut akan kembali ke titik awalnya. Artinya apa yang telah kita lakukan sesungguhnya akan kembali kepada kita juga. Kebaikan yang dilakukan, maka buahnya adalah kebahagiaan, kejahatan yang dilakukan akan berakibat penderitaan. Dalam pandangan Buddhis, kepada orang yang menerima barang yang kita berikan atau bantuan dari kita, bukan mereka yang harus berterima kasih, tetapi kita yang memberilah yang harus berterima kasih atas kerelaan mereka menerima barang/bantuan. Kendatipun mereka juga mengucapkan terima kasih kepada kita sebagai balas budi atas pemberian kita, sehingga mereka juga telah menanam kebajikan walaupun kecil. Mengapa demikian ? Merupakan hal yang biasa terjadi adalah orang yang menerima sesuatu/bantuan akan mengucapkan terima kasih atas apa yang mereka terima sebagai balas jasa. Berbeda halnya dengan ajaran Buddha, berhubung karena orang yang menerima pemberian telah memberikan kesempatan emas kepada pemberi untuk berdana (sehingga si pemberi telah menciptakan kamma baik yang baru) maka si pemberi harus mengucapkan terima kasih kepada penerima. Dengan pemikiran jika mereka tidak mau menerima pemberian dari kita, maka kita tidak akan dapat menciptakan kamma baik dan tidak memiliki kesempatan untuk memetik buah dari kebaikan yang akan dilakukan.

Oleh karena itu, umat Buddha mempunyai prinsip “Indahnya memberi”, maka kita seyogyanya terus-menerus memberi dan memberi. Sesuai dengan prinsip hukum kamma, kendati kita tidak berpengharapan dari apa yang kita berikan, kita akan tetap menerima hasil atau buah dari kamma yang telah kita perbuat. Sesungguhnya orang akan menjadi mulia karena suka memberi.

Marilah kita budayakan tradisi indahnya memberi dan suka memberi, bukan indahnya pahala dari suka menerima. Dengan mempunyai prinsip indahnya memberi, berarti kita telah mempraktikkan Dhamma ajaran Buddha.

Semoga dengan uraian Dhamma yang singkat dan sekelumit ini, akan membawa dampak yang besar bagi pemikiran kita. Semoga akan membawa perubahan ke arah perbaikan diri bagi kita semua. Pengharapan kita adalah semoga semua makhluk berbahagia. Untuk kedua kalinya, pengharapan kita adalah semoga semua makhluk berbahagia selalu. Untuk ketiga kalinya, pengharapan kita adalah semoga semua makhluk akan tetap berbahagia selalu. Sadhu, Sadhu, Sadhu