Senin, 26 Oktober 2009

Manusia Yang Manusiawi (jilid 1)

Berbicara soal “Manusia”, sesungguhnya dalam Buddhadhamma hal itu termasuk bagian dari 31 alam kehidupan yang ada dalam satu tata surya. Manusia bukan termasuk makhluk yang mengalami dukkha (ketidakpuasan) sepanjang waktu dan bukan pula makhluk yang mengalami sukha (kebahagiaan) sepanjang waktu. Kehidupan manusia di alam ini mengalami sukha dan dukkha silih berganti dan terus-menerus dialami oleh penghuni alam tersebut sebelum mampu mencapai Penerangan Sempurna.

Sebagai umat Buddha yang mengalami dukkha tidak diharapkan untuk bersedih, karena dukkha sifatnya sementara dan merupakan fakta hidup yang tidak bisa ditolak ataupun dielak. Dalam hal ini yang paling penting adalah kita bisa menyadari kondisi tersebut sebagai suatu fakta kehidupan dan tidak pula berharap penuh dengan kegembiraan yang berlebihan ketika mengalami sukha, karena sukha bersifat sementara dan pertanda akhirnya dukkha. Justru dengan kebahagiaan yang sementara dialami, perlu berbagi kepada orang lain di sekitar kita, sehingga yang lain turut merasakan kegembiraan kita. Begitu pula dengan makhluk-makhluk yang tak tertampak oleh kasatmata, berbagi kegembiraan kepada mereka sebagai cara pelimpahan jasa kebajikan. Cara ini khas Buddhistis yang merupakan tradisi yang berawal dari zaman Buddha Gotama.

Jadi, sukha dan dukkha adalah bagian dari hidup kita sebagai fakta kehidupan yang pasti dialami oleh siapapun tidak pandang usia, jenis kelamin, taraf kehidupan, tataran hidup, bahkan bukan manusiapun akan mengalami kondisi tersebut. Dan yang terpenting kita harus menyadari bahwa keadaan/kondisi di atas bersifat sementara saja, tidak kekal dan akan mengalami perubahan serta tidak akan bertahan lama. Ketika mengalami dukkha, cobalah kita menengok mereka yang mengalami dukkha yang lebih berat, sehingga mental kita akan lebih tahan menghadapinya. Sedangkan mereka yang sedang mengalami sukha jangan lupa diri dan selalu mengingat bahwa hal tersebut sifatnya juga tidak lama dan sementara saja. Realita dan objektiflah !

Hiduplah dengan “Realistis : bersifat nyata; wajar”, jangan pesimis, dan jangan pula terlalu optimis, nilailah segala sesuatu dengan “kaca mata” atau penilaian yang objektif. Dengan demikian kita akan hidup dengan kesadaran dan penuh kewaspadaan serta berhati-hati. Bila kita berpikiran pesimis, maka akan membawa hidup kita “drop”, tidak memiliki harapan hidup dan melihat segala sesuatu dengan “kaca mata hitam”, tidak ada harapan dan semangat hidup, penuh dengan kekecewaan, dan selalu memandang hidup ini berat dan sulit. Akhirnya orang seperti ini lambat laun akan mengakhiri hidupnya dan ini merupakan “Vibhava-tanha : keinginan/kehausan akan kemusnahan atau memusnahkan diri”. Bila kita menggunakan pikiran optimis, memiliki semangat yang “Over dosis” juga akan menimbulkan bahaya atau berdampak negatip, karena semangatnya luar biasa seolah-olah tidak ada halangan dan hambatan hidup baginya, ia merasa bahwa segala sesuatu mudah, maka tidak ada persiapan untuk melihat kenyataan bila mengalami kegagalan. Ketika ia mengalami kegagalan, maka semangatnya akan “drop” dan berubah pikiran menjadi pesimis. Akhirnya juga akan mengakhiri hidupnya karena merasa tidak dapat bertahan akan kenyataan hidup ini.

Berbeda dengan mereka yang memiliki pikiran objektif, orang ini akan selalu melihat apa adanya dengan wajar sesuai dengan proporsinya, dukkha ya dukkha tidak lebih dari itu, akibatnya tidak sampai tidak bisa tidur, tidak bisa makan, selalu stress yang semakin membawa penderitaan. Dan mengalami sukha ya sukha tidak berlebihan, karena orang ini mengerti bahwa itu semua bersifat sementara, akan mengalami perubahan, dan tidak ada yang harus dibanggakan ataupun disombongkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar